Senin, 29 Juni 2009

Ditunggu..! Pertanggungjawaban Akademik UIN

Insiden Penolakan Kebijakan Biaya Pendidikan

Terpilihnya Komarudin Hidayat menggantikan Azyumardi Azra tidak memberikan perubahan yang lebih baik terhadap sistem pendidikan di kampus islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, namun melanjutkan catatan kelam atas kekerasan yang terjadi di kampus ini. Oknum satpam menganiaya beberapa mahasiswa yang sedang berdemo dengan cara pemukulan terhadap mahasiswa tersebut, bahkan mahasiswa yang tidak ikut serta dalam demonstrasi turut menjadi korban.

Dimana rasa keadilan itu muncul atas dicabutnya kompensasi biaya SPP dengan dikeluarkannya SK Rektor NO. 024 Tahun 2005-2006 untuk kalangan semester atas yang sudah tidak aktif kuliah. Gejala tidak wajar diindikasikan dari tahun keluarnya SK Rektor tersebut yakni 2005 dengan tahun efektif berlakunya yakni 2009.
Sungguh memalukan dan mengecewakan atas insiden yang terjadi di UIN Jakarta. Kampus Islam mengapa berprilaku seperti itu? Terjadi pengeroyokan oleh oknum satpam UIN Jakarta kepada beberapa mahasiswa yang sedang berdemonstrasi menolak kebijakan SPP. Diduga peristiwa ini disengaja, karena tidak insidental dan berjalan sangat rapih. Mulai dari ketidakpercayaan satpam atas keberadaan non mahasiswa UIN yang dianggap tidak ikut berdemonstrasi dan pengeroyokan oleh oknum yang tidak mengenakan seragam satpam.

Jumat, 12 Juni 2009

Entah Berantah

Sumber masalah dan sumber penyelesaian banyak tergantung dari faktor ekspresi, terutama ucapan lewat lisan ataupun yang tertuang dengan tulisan. Komunikasi tersebut paling tidak diukur berdasarkan norma yang dibentuk masing-masing segmentasinya, bisa atas wilayah, standar akademis ataupun yang lain. Di pesisir misalnya, tidak heran jika berkata keras dan kasar yang menjadi suatu norma yang bisa terima dimana jika hal tersebut diterapkan di wilayah dingin seperti pegunungan yang notabene masyarakatnya bertutur pelan dan halus. Ada banyak komparasi yang bisa kita buat bahkan sampai menembus aturan legal formal yang sudah ada, seperti pemakaian koteka oleh suku-suku di papua apabila dikaji dalam konteks perundangan melanggar UU anti pornografi dan pornoaksi. Preposisi tersebut terbentuk secara mekanis dan biasanya sudah sangat lama sehingga perbedaan antar norma kemudian menjadi suatu kekayaan tersendiri dalam kehidupan kita. Mungkin begitulah parameter suatu kebenaran dan keadilan, melibatkan sebuah konteks yang pas dalam penerapannya.
Kita dapat mengatakan salah jika ayam diberikan kepada seseorang jika konteksnya adalah bayi yang baru berumur tiga bulan. Begitu juga dengan masuknya Islam di Indonesia misalnya, butuh proses akulturasi untuk membuatnya menjadi benar. Memang sebuah keniscayaan ketika standarisasi tidak berjalan apa adanya, namun dibuat dan dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga menjadikan anggapan wajar. Lagi-lagi proses, uji materi dan pendalaman nilai dari skenario tersebut membutuhkan konsistensi dan waktu. Demokrasi yang -katanya- diagungkan menjadi ciri khas bangsa Indonesia atas adanya pluralisme merupakan sosok yang begitu idel untuk saat ini, namun usia yang demokrasi yang begitu muda tidak serta merta dapat mengikis mentalitas yang sudah mengakar seperti pengklasteran masyarakat, misalnya bentuk figuritas, trah, suku sampai budaya mistis.

Lagi-lagi kita menjadi objek dari sebuah skenario konstruksi global. Pelabelan Islam atas santri, abangan dan priyai tidak bisa dibuktikan secara riil oleh para orientalis. Kemudian perjalanan demokrasi presidensil yang begitu merugi versus sistem kerajaan yang makmur. Saat Jepang dikalahkan oleh sekutu, salah satu dari permintaan kerjaan tersebut adalah untuk tidak menghapus budaya lokal yang ada. Hal tersebut menandakan bahwa setiap bangsa yang cinta dirinya sendirinya -termasuk di dalamnya kebudayaan, bahasa, peilaku- akan menjadi bangsa yang besar.
Diberdayakan oleh Blogger.

My Instagram