Rabu, 22 Juli 2009

Maju Lagi Menapaki Kepastian

Upaya stabil terhadap komitmen pribadi walaupun berat namun tetap harus diputuskan juga. Tidak mungkin juga melawan arus dengan acuh terhadap image yang seharusnya orang kebanyakan diikuti, mulai dari pola tidur dan berkativitas alhamdulillah, insomnia ini akhirnya perlahan rekatannya lepas. Hidup nomaden layaknya bang toyib juga digantikan dengan tempat tinggal yan jelas jika nggak pulang. Ok, mulai berproses menuju yang namanya seattle -maksudnya stabil kali ya-. Jadi persyaratan seattle sebenarnya hanya kontinuitas saja, kalau mau seattle-nya kaya ya kaya terus dan seattle-nya miskin ya miskin terus. Sayang, ketidakstabilan yang kontinyu tidak dikategorikan sebagai seattle.
Moga menjadi awal yang baik untuk hari pertamaku di kostan. Ide yang menggumpal di kepala mudah-mudahan tidak membeku dan membesar. Sederhana dan mudah kelihatannya, namun keraguan atas apa yang terjadi kemudian di lapangan tidak bisa membuat saya mundur, karena pilihannya hanya satu, "produktif". Bukan hanya materi, namun juga pengetahuan, skill, sikap dan pola pikir.

Pagi ini, dengan sedikit kebingungan bagaimana cara menjawab pertanyaan "apa yang menjadi pertimbangan saya ngekost". Rumah dekat, kalau alasan lebih dekat dengan kantor mungkin rasional. Bahwa butuh stabilitas jika saya jarang di rumah dan tempat yang tenang untuk menyelesaikan pekerjaan, hanya itu yang bisa saya jawab. Baiklah, siap-siap barang dan berangkat.....

Jumat, 17 Juli 2009

Beberapa Hari yang Melelahkan

Lelah kali ini tidak berkonotasi keluhan, lebih dari itu, termasuk rasa syukur karena beberapa hari terakhir berinteraksi dengan banyak orang dan beberapa teman lama yang akhirnya memberikan pencerahan. Seolah tidak pernah lekang pencarian atas kemantapan konsistensi hidup, berlanjut dari pertanyaan terhadap diri sendiri; mau kemana? pilihan apa? buat apa? Huh, campuran solusi bukan campuran kebaikan. Kalau campurannya salah,lantas jadi bubur dong.

Soal hidup mungkin lebih kepada perasaan yang membawa, jadi tidak soal miskin atau kaya, berpendidikan atau tidak bahkan cacat ataupun tidak. Apa jadinya kita diselimuti kegundahan masih bisa merasa kasihan dengan pengemis di pinggir jalan yang sangat nyaman dengan aktivitasnya.
Masih dalam keputusan hidup yang -katanya- begitu pelik. Modul-modul sudah disediakan dari mulai sesuatu yang baik sampai solusi atas kesemrawutan. Modul rohani, dalam bentuk ritual dan penyegaran pikiran; misal terapi & training berikut modul jasmani yang melengkapinya. Yang sering terlupakan adalah asupan terhadap rohani yang merupakan kebutuhan primer, bahkan membuat formulasi sendiri sehingga "buat diri sendiri kok coba-coba". Sudah disediakan bagaimana agar hati tetap tenang, bersyukur dan memutuskan pilihan dengan keyakinan yang mantap dalam paham keagamaan kita masing-masing.
Halah, mudah-mudahan nggak cuma ngecap, namun bisa menjadi koreksi atas diri kita masing-masing. Amiin.

Jumat, 10 Juli 2009

Nyicipin Lagi -sedikit- Dunia Mengajar

Belajar, belajar dan belajar. Tidak ada habisnya manusia senantiasa wajib belajar, tanpa dibatasi limit waktu dan tempat, apalagi jika belajar -sesuatu hal- merupakan bagian dari kesenangan kita. Disamping banyak sekali media belajar, salah satu yang begitu saya nikmati adalah mengajar baik berupa pengayaan materi pelajaran, fasilitator dan sebagainya. Mengajar menjadi cita-cita yang tak pernah tergantikan buat saya namun tidak untuk pekerjaan utama, karena mindset yang terbangun di otak saya bahwa pekerjaan aplikatif dapat kita bagi-diskusikan dalam dunia belajar mengajar. Dengan tidak melupakan esensi pengajaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, pengajar murni hanya cocok untuk membahas yang bersifat teoritik saja ataupun hitung-hitungan.
Hari ini saya dipercaya oleh sahabat-sahabat PMII KOMFEIS untuk memfasilitasi salah satu materi bimtest ujian masuk UIN Jakarta, yakni IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Tugas tersebut sangat mendadak tanpa ada konfirmasi beberapa hari sebelumnya, tapi apa boleh buat, saya tetap harus menggantikan posisi pembicara yang berhalangan hadir. Mulai menyiapkan pembahasan soal untuk dibahas di tiga kelas bimtest. Masuk di kelas pertama dengan badan yang begitu lemas karena belum merasakan tidur sejak malam, tetap berusaha menahan kondisi tubuh untuk tetap terjaga, akhirnya terhibur juga melihat wajah-wajah ceria yang begitu antusias mengikuti tips demi tips, soal demi soal untuk dibahas bersama-sama.

Kelas kedua dan ketiga saya ikuti dengan penambahan improvisasi masing-masing, berusaha membuat peserta tetap semangat dengan sedikit lelucon dan partisipasi lebih besar dalam pembahasan masing-masing soal. Tiap-tiap kelas ditutup dengan tausiyah, pengharapan dan do'a semoga niat tulus para peserta bimtest dimudahkan jalannya oleh Allah SWT.

Selesainya acara membuat tubuh sedikit relaks ditemani beberapa hisapan rokok dengan mata yang belum juga pudar kemerahannya. Wuih, butuh istirahat, bergegas pergi ke kost. Tanpa banyak bicara, dengan begitu cepat tubuh ini telentang sampai akhirnya reduplah setengah nyawa ini.

Sabtu, 04 Juli 2009

Keuntungan tak layak setiap pekerjaan



Kita sering diperlakukan dengan tidak semestinya namun hal tersebut dianggap normatif "ah itu sih sudah biasa", dan biasanya dibentuk oleh kebutuhan dan situasi yang mendukung. Ada istilah rahasia umum, asal bapak senang, demi kelancaran atau apapun yang mungkin bisa berkembang. Saat saya melanggar peraturan lalu lintas sampai hampir mendapatkan surat tilang & akhirnya digagalkan hanya dengan membayar dua puluh lima ribu rupiah, atau saat mengurus perpanjangan STNK (surat tanda nomor kendaraan), hanya dengan uang saya bisa mempercepat daftar antrian.
Hal tersebut merupakan contoh keuntungan tak layak yang melekat pada pekerjaan tersebut. Bagi saya itu hanya contoh yang menyentuh wilayah publik secara umum, padahal pekerjaan apapun memiliki peluang yang sama untuk mengambil keuntungan tak layak tersebut. Seperti seorang dosen dengan kurangnya kapasitas keilmuan mensiasati dengan cara memberikan tugas makalah & presentasi dari awal masuk kuliah sampai akhir, karyawan yang membelanjakan peralatan kantor dimark-up, PNS (pegawai negeri sipil) yang keluar masuk kantor semaunya, dan setiap pekerjaan lainnya.
Dalam konteks ini terpisah dengan konsepsi jual-beli dimana setiap orang dapat menjual dengan keuntungan berapapun asalkan disepakati dan terjadi transaksi. Namun jual beli yang terjadi ternyata tidak dalam koridornya, saling menguntungkan bagi yang bertransaksi saja satu atau dua pihak disisi lain ada yang dirugikan.
Ibarat sistem keamanan, lubang sekecil apapun adalah peluang terjadi kebocoran dan memperbesarnya, apalagi kebocoran tersebut kemudian dianggap lumrah. Memang kasus-kasus dalam pekerjaan selama dianggap tidak signifikan biasanya tidak menjadi prioritas untuk diselesaikan sampai akhirnya menjadi budaya. Kenapa tidak tindakan preventif yang dilakukan? Ada banyak hal yang sudah dan masih dilakukan untuk mensiasati peluang penyimpangan tersebut walaupun kemudian ada saja penyimpangan baru.
Kita tahu belakangan ini marak kampanye untuk mendisiplinkan polisi yang menerima suap, dari pelanggar jalanan, perusahaan-perusahaan sudah menganggap pentingnya kerohanian karyawannya dengan memberikan fasilitas dan waktu yang leluasa untuk beribadah atau diadakannya family gathering dalam bentuk pelatihan outbond untuk pembangunan sikap, sistem lelang oleh instansi pemerintah yang pada akhirnya juga sebenarnya terjadi kongkalikong. Pada akhirnya terdapat dua hal yang harus dikuatkan, yakni sistem dan pembangunan mental setiap insan yang terkait pada instansinya.
Diberdayakan oleh Blogger.

My Instagram