Selasa, 20 Oktober 2009

Mana Pembuktiannya?

Wacana yang hampir tidak pernah dilontarkan apakah perlu dibuktikan? saya rasa hal tersebut tidak perlu. Ternyata dalam banyak hal, justru menjadi clear enough dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Yup, setiap yang lazim dilalui setiap orang, kemapanan dan pekerjaan, kekasih dan pernikahan, pendidikan, serta mungkin dapat bertambah lagi persoalannya.

Setiap levelitas kehidupan pasti menunjukkan masalahnya masing-masing. Seperti hukum kepuasan (dalam ekonomi) saja, saat mencapai titik kulminasinya maka akan kembali datar dan semakin berkurang kepuasan kita. Mapan melihat kaya dan berdiri diatas si miskin, kaya melihat konglomerat, begitu seterusnya jalur vertikal yang tak kunjung henti. Masing-masing memiliki keinginan yang tak pernah terpuaskan, juga sama-sama diliputi kebimbangan pada hal-hal yang lazim seperti disebutkan diatas.
Menjadi seseorang yang lazim seperti kebanyakan orang mungkin syarat dimana kebimbangan kita sidah terjawab. Misal dalam umur 22 tahun seharusnya sudah selesai kuliah dan beranjak ke 23 tahun sudah memulai pekerjaan, di umur 25 sudah lumayan mapan dan umur 27 sudah memulai rumah tangga, umur 30 sudah stabil dan memupuk konsistensi hidup. Kalau dalam beberapa materi motivasi justru kita diajarkan untuk menjadi berbeda dan bukan menjadi kebanyakan orang pada umumnya. Misal saat kuliah kita sudah bisa menjadi pengusaha yang sukses, mempunyai mimpi yanag besar dan pantang menyerah. Membuat orang-orang dan lingkungan sekitar menjadi magnet yang dapat mendukung setiap cita-cita besar kita (mengutip; The power of attraction).

Menjalankan hidup apa adanya dapat menjadi salah atau tidak tergantung pada penilaian dan penyikapan atas apa yang ada di depan mata. Saat ini -mudah-mudahan tidak salah- saya beserta teman-teman yang lain berusaha memecah kebimbangan atas persoalan kelaziman hidup dan juga berupaya menjadi yang tak biasa. optimis melalui setiap proses dengan keyakinan, jangan pernah menyerah pada kondisi objektif.

Selasa, 06 Oktober 2009

Coba aja kalau berani...!

Kata coba berarti menjajal, berawal dari yang katanya iseng namun sesungguhnya adalah upaya pemenuhan rasa penasaran. Sama dengan mencicipi produk demo version, trial version, test drive dan berbagai macam pembungkus bahasanya. Hal yang dalam mindset kita baru, berhak untuk dicoba bukan untuk langsung diputuskan, jadi percobaan merupakan salah satu hal serius. Misal saya mencoba software trial version, ketika puas kemungkinan besar ada rasa ingin memiliki secara permanen baik dengan cara beli license atau crack serial number. Dalam kasus kecanduan narkoba, manipulasi dan berbohong banyak yang berawal dari yang namanya 'mencoba', "katanya enak tapi kok dilarang, yaudah pengen tau aja sih", ups, berkelanjutan dan siap-siap menjadi korban.

Pernah suatu ketika saat sekolah saya coba ikut membolos sekolah 1 hari, ternyata enak juga ya. Ehm, tambah 1 hari lagi deh, kan absen 1 atau 2 sama saja dan tidak jauh beda. Coba mengambil kemungkinan lagi, gimana kalau tambah 1 hari lagi menjadi 3 dengan asumsi sama dengan diatas. Begitu seterusnya dan seterusnya. Kasus diatas sepertinya dapat berlaku pada kegiatan apapun. Ketika pertama kali coba, kok biasa saja terus membuat penilaian sendiri.

Setiap kegiatan rutin itu katanya sih ada "peng-apes-annya", istilah yang biasa dipakai untuk tindakan kejahatan. Anggap saja kita beramal itu tidak baik kalau ada yang tahu dan kita rajin sekali melakukan amal jariyah <mudah-mudahan ^_^>, dalam statistik pasti ada saat dimana ketika melakukan amal pasti ketahuan, dan disitulah pengapesan jika dianalogikan pada perbuatan jahat seperti mencopet, mencuri dan berbohong.

Semoga kita semua tidak masuk dalam generasi mencoba setiap hal yang secara normatif dilarang dan melawan nurani kita sebagai manusia. Ingat kejahatan itu bukan hanya karena niat pelakunya semata, tapi karena ada kesempatan yang mengakibatkan percobaan kriminal. Karena itu waspadalah... waspadalah... hahahaha..

Jumat, 02 Oktober 2009

Berusaha Menjadi Tidak Biasa

Ada cerita seorang direktur sebuah perusahaan besar sedang berangkat kerja membawa mercedes benz E-Class melewai jalan raya kwitang, ditengah jalan setengah macet tiba-tiba terdengar suara benturan keras yang menabrak mobilnya. Dengan sangat ketakutan keluarlah pengemudi bajaj yang menabrak mobil tersebut berusaha meminta maaf, namun dengan nada rendah seorang direktur hanya menanyakan "Bapak baik-baik saja?" ... "baiklah, jika tidak ada yang luka dan cedera saya melanjutkan perjalanan dan saya harap Bapak bisa lebih berhati-hati lain waktu". Bisakah kita bersikap seperti itu tanpa harus merasa rugi? Mungkin saya sendiri masih ragu apakah bisa.

Berpikir positif, rendah hati dan bijaksana tidak serta merta dapat dilakukan seperti membalikkan telapak tangan, karena terdapat dorongan yang lebih kuat yakni spontanitas yang merupakan pancaran dari tabiat. Atau hal pengandaian konyol yang pernah diungkapkan seorang AA Gym saat pembeli menjual dengan harga Rp. 1500,- namun pembeli justru menawar dengan harga Rp. 2500,- karena dirasa tidak pantas dihargai Rp. 1500,-. Kebiasaan yang tidak lazim dilakukan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan ataupun kesalahan, bahkan jika kita melihat sejarah orang-orang sukses adalah melakukan hal positif yang tidak lazim dilakukan secara umum, seperti para pencetus agama yang semula dianggap sesat, Thomas A. Edison yang bangga akan ribuan kegagalan eksperimennya atau Munir yang begitu mengesankan mengadvokasi kasus orang-orang hilang...

Apatisme terhadap seorang motivator hanya karena dianggap tidak sesukses dan se-milioner motivatinya sampai terhadap bisnis MLM yang dianggap menjual mimpi menjadikan kita tidak yakin bahwa kita tidak memiliki kemampuan. Padahal kita sadari bahwa motivator layaknya seorang pelatih tidak harus bisa mengalahkan muridnya ataupun bisnis MLM yang tidak melulu melihat kegagalan tanpa kerja keras. Saya pernah sedikit menyimak buku The Secrets 'The Power of Attraction' yang mengungkapkan bahwa setiap orang memancarkan auranya dan dapatmenjadi magnet yang kuat atas keinginannya sampai bisa tercapai, tidak lain adalah bermimpi, yakin dan melangkah.

Idealisme menjadi sia-sia saat diliputi keraguan, inkonsisten serta membuat perbandingan kesalahan. Mungkin sebaiknya langkah pragmatis yang paling mungkin dilakukan untuk mencapai mimpi tersebut, step by step selayaknya kita lalui. Orang sukses tidak seperti kejatuhan emas tiba-tiba dari langit, namun butuh keinginan yang kuat dan yakin menjadi sukses. Akhirnya, para penyandang cacat yang mampu berprestasi bahkan bisa mencapai rekor dunia dapat melawan kekurangannya menjadi motivasi yang memberikan semangat lebih besar daripada kesedihan atas kehilangan mudah-mudahan dapat menjadi contoh yang baik bagi kita yang memiliki organ tubuh lengkap untuk memiliki mimpi yang besar dan terus berikhtiar.
Diberdayakan oleh Blogger.

My Instagram