Pemerintahan Indonesia dalam proses perkembangannya mengalami perubahan yang cukup signifikan. Di mana sistem Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru sangat mempengaruhi masyarakat Indonesia itu sendiri. Berkuasanya pemerintahan Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun secara tidak langsung juga membentuk identitas Negara Indonesia yang berdampak terhadap perubahan segala segi, ekonomi, sosial dan politik. Di pasca Orde Baru ini yang disebut juga era Reformasi pemerintahan Indonesia sepertinya berangkat dari titik nol untuk membangkitkan sistem politiknya. Dikarenakan banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Di sini perlu adanya reskonstruksi pemerintahan guna mengumpulkan puing-puing dampak dari digulingkannya presiden Soeharto.
Sistem pemerintahan yang dijalankan sekarang tidak lagi menggunakan paham status quo, di mana segala bentuk keputusan yang diambil diikuti begitu saja oleh badan legislatif, sehingga terlihat presiden mempunyai otoritas mutlak. Undang-undang yang memperkuat itu juga telah di amandemen, untuk itu pihak DPR mendapat wewenang yang cukup untuk membuat Undang-Undang. Sebagaimana disebutkan pada pasal 20A (1) dari Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, yang menyatakan bahwa “DPR memegang kekuasaan untuk membuat undang-undang”. Otoritas DPR untuk membuat undang-undang diakui juga dalam Pasal 20A (1) Namun otoritas tersebut juga merupakan otoritas Presiden, karena Pasal 20A (2) menyatakan bahwa ”setiap rancangan undang-undang dibicarakan oleh DPR dan Presiden untuk mencapai kesepakatan bersama”. Bila kesepakatan tidak dapat dicapai, Pasal 20A (3) menyatakan bahwa “rancangan undang-undang yang bersangkutan itu tidak boleh diajukan lagi selama sesi DPR tersebut.”
Otoritas untuk Demokrasi
Dengan kewenangan yang cukup besar terhadap rancangan undang-undang kadang pihak DPR tidak menggunakannya secara maksimal. Terbukti banyak rancangan undang-undang yang masih menumpuk di meja dan belum jelas kapan akan dirapatkan. Di sisi lain para anggota dewan kurang cukup antusias dalam mengikuti rapat karena tema dari rapat kurang dipersiapkan secara serius. Ini mengakibatkan rapat yang kurang kondusif dan efektif, membuang waktu dan tidak maksimal untuk menghasilkan keputusan. Belum lagi masalah keributan di ruang sidang akibat terjadinya perselisihan pendapat tanpa ada resolusi yang jelas, dan ini mengindikasikan bahwa wakil rakyat Indonesia belum menjalankan tugasnya secara dewasa dan bijak.
Hal lain yang perlu dilihat adalah bahwa kurang transparannya badan DPR dalam memberikan informasi tentang sidang yang dilakukan. Ini sangat disayangkan, karena bagaimana mungkin badan wakil rakyat yang merupakan produk hukum bagi masyarakat Indonesia namun tidak terbuka terhadap publiknya sendiri. Publik hanya bisa mendapatkan informasi berupa rapat paripurna dan rapat yang bersifat besar. Karena mungkin ini juga sudah tercium oleh publik dan media. Sehingga pihak kehumasan DPR secara tidak langsung berkewajiban memberikan informasi tersebut. Akan tetapi sangat kesulitan untuk mendapat informasi tentang naskah-naskah rancangan undang-undang yang lingkupnya khusus.
DPR sebenarnya mengalami langkah kemajuannya setelah kursi yang ada diduduki oleh para anggota dewan yang terdiri dari berbagai partai. Di mana partai-partai tersebut mewakili dari suara yang ada di masyarakat bawah, ini jelas sangat berbeda dengan anggota dewan pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru kursi DPR hanya perwakilan dari tiga partai dan itu juga ada permainan konspirasi di dalamnya dan ini sangat jauh dari aspirasi rakyat. Berbeda dengan DPR pada masa sekarang yang lebih demokratis yaitu multi partai dan merupakan perwakilan dari aspirasi masyarakat Indonesia. Namun demikian konsekuensi dari hal ini adalah beragamnya pendapat ketika membuat sebuah peraturan atau perundang-undangan. Dan tidak jarang kita menyaksikan berbagai perdebatan yang terjadi di kursi dewan.
Salah satu dari hasil keputusan kadang dilakukan melalui voting. Ini merupakan akibat dari perselisihan yang tidak ada ujungnya sehingga ketua sidasng mengambil jalan voting/mufakat. Ini merupakan konsekuensi dari system demokrasi yang coba diaplikasikan di Negara Indonesia. Keputusan voting tentunya akan melibatkan unggulnya mayoritas dan terkalahkannya minoritas yang kemudian kadang muncul perselisihan. Tidak jarang para anggota dewan yang termasuk suara minoritas meninggalkan ruang sidang dikarenakan aspirasi mereka tidak dipenuhi. Disinilah perlu kebijakan dari para anggota sidang terhadap pendapat yang mereka ajukan.
DPR Sekarang: Sebuah Harapan
Anggota dewan perwakilan rakyat merupakan sebuah motor pemerintah, dimana segala perkembangan dan kemajuan pemerintah terletak di pundaknya. Cita-cita dan harapan masyarakat Indonesia terdapat pada badan DPR yang kemudian diaplikasikan oleh badan eksekutif. Kemajuan yang sudah melangkah dari pasca Orde Baru perlu ada suatu keseriusan yang sungguh-sungguh dari kesadaran pemerintah. Untuk itu demi mencapai Negara yang maju dan demokratis perlu adanya keterbukaan terhadap rancangan-rancangan yang akan disidangkan terhadap publik. Sehingga masyarakat mampu menganalisa dan memperbaiki kekurangan dan kelebihan yang ada. Kita dapat berperan aktif dalam upaya peningkatan kinerja parlemen (DPR) dengan cara:
Berpartisipasi dalam pembahasan RUU dan menyampaikan gagasan yang kita inginkan melalui rapat dengar pendapat umum, audiensi dengan Fraksi-fraksi, 8konsultasi publik, hearing dengan badan legislasi.
Monitoring efektifitas kerja komisi berdasarkan departemen yang ditangani. Parameternya dapat melalui, kesesuaian anggaran dan kesesuaian kebutuhan program kerja.
Meningkatkan akses informasi kepada publik mengenai Rancangan Undang Undang (RUU), Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) suatu RUU, makalah-makalah hasil rapat, Daftar hadir, serta dokumen lainnya yang selama ini dinilai kurang transparan.
Audit terhadap setiap pelaksanaan kegiatan parlemen dan relasinya terhadap eksekutif.
Politik bukan merupakan suatu perebutan kekuasaan, dimana yang kuatlah yang berkuasa. Akan tetapi kalau menengok pendapat Habermas bahwa politik adalah merupakan sarana berkomunikasi dan wacana. Untuk itu bagi Habermas bagaimana sebuah politik bisa menjalankan “diskursus public” atau deliberatif demokrasi, yaitu upaya untuk melakukan intensitas warganegara dalam proses pembentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati pihak yang diperintah. Ini tentunya menjadi cita-cita kita semua.