Minggu, 19 Oktober 2008

Bagaimana Mahasiswa Bersikap?


Proses pembelajaran di sekolah-sekolah maupun di universitas ditujukan untuk dapat menjawab tuntutan yang ada di masyarakat pada umumnya yakni melalui transformasi keilmuan dapat tercipta pemberdayaan masyarakat, partisipasi aktif dalam proses pembangunan dan peningkatan taraf hidup. Tapi sepak terjang para alumni lingkungan akademis masih dapat dipertanyakan, apakah hasil dari proses pembelajaran di universitas atau hasil pengalaman yang dipercayakan secara legal? Sejauh mana ilmu-ilmu yang diterapkan dalam universitas dapat menyentuh realitas sosial yang ada?

Mahasiswa yang cerdas secara akademis belum tentu dapat bekerja dengan baik di masyarakat. Bahkan James Tobin (penerima hadiah nobel untuk ilmu ekonomi, 1981) pernah mempersoalkan apakah mengalirnya para sarjana ke sektor keuangan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial (Ormerod, 1994).

Persoalan yang semakin pelik dalam dunia akademis saat ini adalah adanya bias terhadap liberalisasi pendidikan yang semakin nyata seiring dengan otonomi daerah, sehingga praktik komersialisasi kampus semakin menjadi. Mulai dari mahalnya biaya SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) setiap tahun yang tidak relevan sampai pada penerimaan mahasiswa baru PTN (perguruan tinggi negeri) dengan jalur khusus. Hal ini mengindikasikan bahwa:
Pertama, Hanya 'kalangan berduit' yang mampu menikmati pendidikan di perguruan tinggi dan masyarakat miskin hanya memperoleh pendidikan dibawah standar.
Kedua, Kesarjanaan hanya sebagai simbol formalitas menuju gerbang dunia kerja dan status sosial yang menentukan dunia kerja para arjana tersebut.
Ketiga, Sistem pendidikan yang tidak memadai karena pemerintah tidak serius melakukan pembinaan terhadap pendidikan di Indonesia yang mengakibatkan kompetensi para sarjana di Indonesia selalu dipertanyakan dibandingkan dengan negara-negara lain (misalnya Singapura, Malaysia dan Amerika). Mahasiswa Indonesia lebih bangga menyandang gelar kesarjanaan luar negeri dengan salah satu alasan kesempatan kerja yang lebih jelas.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Itulah refleksi dari dunia akademis (pada umumnya) yang terjadi saat ini. Mahasiswa hanya turunan dari intelektual pengajar (baca: Dosen). Kurikulum yang disusun dalam silabus membuat mahasiswa harus mengerti, menghapal secara harfiah tanpa kita harus tahu sejauh mana kebutuhannya bagi dunia kerja dan masyarakat. Budaya 'bertanya' harus dikembangkan dalam dunia akademis, artinya bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dapat merangsang untuk melihat situasi -apakah dapat menjawab tuntutan dari tujuan pengajaran mata kuliah dan masih relevankah untuk diajarkan- dan mampu menanggapi problematikanya sehingga dapat menganalisis. Bukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat 'mematikan' intelektual, yaitu hal yang secara objektif sudah ada dan harus dihafal, bagaimana pengertiannya dan sebagainya.
Pengajaran tidak harus mengikuti tuntutan moral akademis yang berlaku sehingga kita terjerat ke dalam sekat peraturan dan norma yang sudah berlaku. mahasiswa harus diarahkan bagaimana dia mampu bersikap etis sehingga dapat membentuk tuntutan moral akademis yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak terjadi pemaksaan pada proses belajar mengajar. Pelajaran moral mengajarkan bagaimana kita aman dalam sebuah kolam dengan diberi 'ban pengaman', tetapi pelajaran etika mengajarkan kita bagaimana bisa berenang di dalam kolam (Magnis-suseno: 1991). Sudah tidak saatnya lagi mahasiswa menjadi buntut yang selalu mengikuti kepala, tapi bisa menjadi kepala yang berhadapan dengan kepala, sehingga dapat menjadikan mahasiswa sebagai subjek perkuliahan dan mampu bersikap rasional dan etis.

0 Comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

My Instagram