Minggu, 12 Oktober 2008

Rasa Syukur

Rasa Syukur selayaknya hidup, suka dan duka selalu menyertai dalam keseharian dan memang takkan pernah kunjung henti sampai kemudian kematian menjemput dan menyudahi ambisi keduniawian kita. Mulai dari kelahiran kita belajar merasakan, mendengar, dan berangsur dapat melihat, berbicara dan mengenali komunikasi verbal sampai berjalan dan akhirnya kita bisa berlari. Bersyukurlah manusia yang diberikan Allah jasad yang normal dan utuh, sekaligus cobaan bahwa sejauh mana kita bisa memanfaatkan sebaik-baik amanah yang melekat dalam diri.

Mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tentu itulah yang diinginkan setiap orang. Namun ukuran kehidupan yang lebih baik dalam konteks manusia sebenarnya tidak ada batasnya dan sangat relatif. Karena memang sifat dasar manusia yakni tidak pernah merasa cukup. Nafsu manusia seolah terus berangsur dan justru mengalir semakin besar seiring bertambah umur. Mungkin kita ingat tentang hukum ekonomi yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula kebutuhan untuk konsumsi.


Ketika sudah sampai klimaks terhadap cita-cita ataupun karir, maka perasaan akan biasa kembali dan tidak menggebu-gebu. Bisa jadi dalam jangka panjang, justru capaian tersebut dianggap menjadi sangat lumrah dan berangsur menjadi semakin berkurang penghargaan atasnya. Kemudian timbul cita-cita dan target baru yang begitu dianggap sulit digapai dan begitu memukau kita membayangkannya. Mungkin begitu siklus yang terus berputar dari ujung sampai pucuk dan kembali lagi ke ujung.

Makhluk ataupun benda yang memiliki nama, pasti jualah dia melekat fungsi dan realisasinya berikut nilai itu. Sebagaimana pulpen, melekat fungsi untuk menuliskan sesuatu. Apakah hasil tulisan tersebut baik ataupun buruk, itu tidak jadi soal asalkan sudah menjalankan fungsinya tersebut maka akan melekat nilai yang positif pada pulpen tersebut. Itu hanyalah satu contoh. Begitu juga manusia, seharusnya merealisasikan fungsi atas eksistensinya tersebut. Dari situ kita bisa merenung bagaimana seharusnya kita hidup. Sejauh mana kita memandang fungsi hidup kita terhadap Tuhan yang dipresentasikan dalam ritual, kehidupan di masyarakat, lingkungan kerja dan segala sesuatu yang ada disekeliling kita. Tidak hanya privacy mainstream yang dikedepankan untuk memuaskan nafsu kita. Manusia diberikan anugerah berupa akal, salah satunya agar dapat mempertimbangkan sesuatu yang baik dan buruk –tidak dimiliki makhluk lain, malaikat, hewan, pohon, iblis, dll- dan dengan nafsu ia dapat memiliki ambisi untuk melakukan sesuatu dengan perasaan bahagia, senang, atau mungkin penyesalan.

Malaikat dapat direpresentasikan dengan sifat-sifat kebaikan karena malaikat hanya berbuat kebaikan; sesuai peritah Allah. Sedangkan iblis dapat direpresentasikan sebaliknya. Kedua sifat itulah yang selalu menyelimuti manusia untuk dapat dijadikan pilihan, baik atau buruk. Atas dasar itu, bersyukur atas apapun yang dianugerahkan Tuhan adalah suatu pilihan sebagaimana fungsi atas tujuan diciptakan manusia oleh Allah hanya untuk beribadah (mangabdi) kepadaNya. Kadangkala manusia berkeluh kesah atas musibah dan kegagalan dengan melatih rasa sabar, kemudian mengatakan ”kita hanya bisa pasrah atas ujian/cobaan yang diberikan Allah kepada kita”. Namun berbeda sikap ketika sukses dan mengalami rasa senang, dengan angkuh mengatakan ”hasil yang saya peroleh benar-benar merupakan usaha dan kerja keras saya selama ini”. Manusia hanya diberi kesempatan berdo’a dan ber-ikhtiar.

Sesungguhnya keberhasilan ataupun keterpurukan ditentukan oleh Allah. Ketika manusia meminta (berdo’a) sesuatu yang baik dan berikhtiar dengan sungguh-sungguh, maka insya Allah pasti dikabulkan. Hubungan secara vertikal (hablumminallah) berupa ritual dengan kedalaman ilmu yang memadai (tidak taqlid buta) sebagai wujud menjalankan kewajibannya kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (hablumminannas) sebagai pantulan daripada aktifitas ritual kita dan sebagai wujud tanggung jawab atas eksistensi fungsi manusia selayaknya dapat dijalankan dengan khusyu’ dan benar. Amiin. Hidup ternyata tidak hanya menyelesaikan masalah pribadi sendiri, namun manusia memiliki kewajiban untuk menjalankan fungsi hidupnya diciptakan. Sehingga ketika hidup kita memancarkan fungsinya, maka akan bernilai positif. Mari kita merenung... Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S. Adz Dzariyaat: 56)

0 Comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

My Instagram