Minggu, 06 Februari 2011

Korupsi

 

Sektor Publik (Pemerintah, baik pemerintahan pusat maupun daerah) selalu menjadi bahan pemberitaan atas kasus-kasus kejahatan birokrasi yang dikenal dengan KKN (korupsi, kolusi, nepostisme), dikarenakan masyarakat adalah stakeholders dari pemerintahan itu sendiri, sehingga jika terdapat penyalahgunaan maka harus dipertanggungjawabkan kepada stakehorders yang bersangkutan (masyarakat). Berbeda dengan perusahaan swasta, dimana stakehorders-nya pihak-pihak tertentu saja sehingga progress maupun penyalahgunaan yang terjadi tidak perlu masuk ke wilayah publik, kecuali memiliki ekses terhadap masyarakat.

Korupsi dapat didefinisikan sebagai pemakaian fasilitas publik untuk kepentingan pribadi, dengan kata lain, dengan menggunakan jabatan, seseorang memanfaatkan fasilitas tersebut untuk keuntungan pribadi saja. aktivitas korupsi dapat berupa: (a) penyuapan, (b) pemerasan, (c) penipuan, (d) penggelapan, (e) nepotisme, (f) kronisme, (g) penggunaan aset publik dan properti untuk penggunaan pribadi, dan (h) memberikan pengaruh.

Indonesia sampai saat ini masih dianggap setengah hati dalam mengentaskan korupsi. Otonomi daerah yang berimplikasi pada desentralisasi kekuasaan juga berdampak pada banyaknya kasus desentralisasi korupsi yang terjadi. Beberapa kasus korupsi seperti kasus bail-out Century dan Gayus Tambunan yang tak kunjung selesai dan terkesan politis benar-benar menyesakkan hati nurani kita. Bebas bersyarat Artalyta Suryani yang hanya menjalani 2/3 masa hukuman karena remisi berkelakuan baik di tahanan tanpa mempertimbangkan ruangan sel mewah beliau, seolah memberi pesan kepada publik bahwa silahkan korupsi sampai kaya, maka hidup anda akan aman, damai, dan tentram, karena mendapat perlakuan khusus sebagaimana curhat dari penyanyi “andai ku gayus tambunan”.

Indeks persepsi korupsi di Indonesia tahun 2010 masih sangat memprihatinkan yakni sebesar 2,8 (skor 0 = buruk sampai dengan 10 = baik) dan masuk dalam jajaran negara terkorup di dunia dengan urutan ke-110 sebagaimana diungkapkan oleh Transparency International. Tidak terdapat kenaikan dari tahun 2009, bahkan masih teringgal dari negara-negara tetangga seperti: Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dalam beberapa tahun terakhir dengan rata-rata kenaikan skor pertahun sebesar 0,08 poin sejak 2006.


Tabel 1.1
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia (2006-2010)
Tahun
Peringkat Dunia
Skor IPK
Interval Kepercayaan
2006
130
2,4
2,2 – 2,6
2007
143
2,3
2,1 – 2,4
2008
126
2,6
2,3 – 2,9
2009
111
2,8
2,4 – 3,2
2010
110
2,8
2,3 – 3,2








Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat masih pesimis terhadap pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan. Nampaknya dominasi sejarah lama masih sulit dihilangkan. Dengan tidak menafikkan berbagai upaya KPK atas terungkapnya kasus-kasus korupsi kelas kakap, namun belakangan KPK juga dielu-elukan masih tebang pilih atas pihak-pihak yang dijadikan tersangka. Misal kasus traveler cheque pemilihan deputi gubernur bi miranda s gultom, ketika para mantan anggota dewan dijadikan tersangka, justru yang bersangkutan (miranda s gultom) hanya berstatus saksi, seolah terjadi saling serang antara pemerintah dan pihak oposisi.

0 Comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

My Instagram