
Perjuangan begitu keras serta proses yang dilalui membuat banyak calon sangat percaya diri atas keberhasilannya. Parameter yang dibuat pastinya memiliki tendensi yang berbeda-beda, lagi-lagi ‘ponten’ yang kemudian dianggap menentukan atas usahanya tersebut. Ketika guru terlihat begitu egois atas nilai muridnya karena hanya memberikan ‘klu’ atas persoalan kedepan walaupun tidak selalu sama representasi yang dikerjakan oleh masing-masing muridnya, namun tetap saja terdapat jawaban yang tidak sanggup dibantah. Terlepas dari proses yang dilewati terdapat kecurangan seperti; menyontek, menukar lembar jawaban, mengancam murid lain dan mungkin banyak lagi trik bisa dilakukan, jika hal tersebut tidak dapat dibuktikan, maka kebenaran tetap lekat pada murid tersebut. Ada saja yang merasa tidak menerima hasil ujian tersebut dengan berbagai argumentasi dan alas an penguasaan materi, kerja keras dan lain sebagainya.
Sedikit pengandaian sederhana tersebut mungkin dapat menggambarkan bagaimana setiap caleg seharusnya bisa bersikap dewasa baik yang terpilih maupun tidak. Rakyat yang memberikan ‘ponten’ dan masing-masing caleg yang mendapat nilainya. Kalau kita melihat di media terdapat pemberitaan banyak caleg stress, depresi dan gila karena merasa gagal atas pencalonannya, paling tidak fenomena tersebut alamiah dan tidak mengganggu orang lain, seperti mantan caleg di Indramayu yang depresi dan menjalani perawatan oleh kiayi karena sudah all-out dan mengeluarkan milyaran rupiah. Namun pada momen yang sama, pemberitaan serupa juga muncul hanya berbeda topik, para mantan caleg tersebut merasa tidak terima atas hasil suara akhir. Di jombang-ciputat misalnya, ada seorang caleg mengambil karpet yang pernah disumbangkan ke masjid berharap dapat suara besar disekitar masjid tersebut, namun yang terjadi sebaliknya. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi, seorang caleg di Kalimantan menggusur areal perumahan di lokasi milik sanak familinya lagi-lagi karena sebab yang sama.
Kelainan yang sudah diprediksikan tersebut disebabkan oleh karena caleg karbitan tersebut begitu percaya diri karena secara materi merasa mampu, di back-up oleh politisi lain yang mapan, darah biru partai atau didukung hanya oleh segelintir orang yang hanya ingin mengambil keuntungan. Caleg seperti ini tidak didukung oleh pengalaman konstelasi politik yang cukup di kelas dan lingkupnya, mungkin organisasi massa, asosiasi, lembaga pendidikan, advokasi dan lain sebagainya. Faktor tersebut dapat menjadi factor popularitas, strategi kampanye dan yang terpenting adalah kesiapan mental.
Mungkin fenomena kelainan caleg gagal sudah lumrah sejak pasca reformasi, namun baru pemilu kali ini begitu terekspos dengan massif sejalan dengan hasil quick count sementara. Skenario apa yang mungkin di buat? Realita media massa terbukti tidak bisa bebas-nilai dalam mempublikasikan pemberitaan. Paling tidak kita bisa telisik untuk siapa institusi bersangkutan mensukseskan salah satu calon atau partai politik. Tidak berbeda dengan lembaga survey yang saat ini sedang menjamur dan masing-masing memiliki versi hitungan yang berbeda, pemberitaan ternyata juga melakukan pemilihan, pembatasan sampai penentuan versi beritanya. Televisi sebagai level teratas diikuti internet dan media cetak seolah-olah dapat menentukan partai politik apa yang diproyeksikan memenangkan pemilu. Perolehan suara partai Hanura dan partai Gerinda menjadi contoh yang begitu melambungkannya mejadi partai papan atas.
Catatan diatas dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, apalagi bagi caleg pada pemilu kedepan yang dapat mengambil hikmah untuk dapat memikirkan secara matang siap dan pantaskah mencalonkan diri.
0 Comments:
Posting Komentar